Seperti angin dilampauinya jalan, berlapis pintu tertutup
dan terbuka. Diketuknya setiap apa yang disinggahinya.
Bangkit dibesarkan detak jantung, nafas dari tirakat suatu
zaman.
Jerit suling dan petikan kacapi lalu tembang mamaos
cianjuran
melelung dan mengendap di keningnya: merentangkan sajadah
di sela tidur dan jaga.
Berulangkali keheningan mendekapnya, gelap dan terang
menyongsongnya, pedih dan keriangan menaburkan butir-butir
sinar
pijar dan keluasan pandang.
Berulangkali rumpaka
liris mematahkan rusuk kecongkakannya
dan jiwa yang berontak memperoleh lempang jalan sujud,
“Kini tinggal bayang dan tahun-tahun yang karam,“ bisiknya
pada jam-jam senyap di musium kota.
Rajah mempertemukan dua dunia, tulang dengan sumsum.
Kulit dengan daging sudah lebih dulu diperah jari-jari doa
dan ritus
sunyi. Ia tahu, mendung dan cuaca memberat, dirinya sendiri
makin rapuh dan asing di telinga masa depan. Tetapi semua
pintu
dan jendela dari setiap apa saja yang disinggahinya
senantiasa
menghadapkan wajahnya ke arah kiblat
No comments:
Post a Comment
Untuk berdiskusi, komentar, pertanyaan, saran atau menambahkan. Silahkan gunakan kolom komentar yang telah disediakan. Terlepas dari itu, pergunakanlah bahasa yang baik, sopan dan bijak serta tidak mengandung unsur SARA atau ujaran kebencian. Terima Kasih.